STIE Kasih Bangsa dan Sarana Edukasi Tentang Sampah

STIE Kasih Bangsa berkolaborasi dengan Perumda Pembangunan Sarana Jaya menggelar webinar nasional untuk memperingati Hari Peduli Sampah. Perhelatan ini menghadirkan dua pemateri yang berkecimpung dalam bidangnya dengan tema Circular Economy Sampah Jadi Cuan pada Sabtu (25/2/2023).

Perhelatan yang dilaksanakan secara virtual Zoom Meeting ini menghadirkan Yanti Pelanusa, Founder dan CEO Komunitas Pelangi Nusantara. Tak cuma itu, webinar yang dihadiri lebih dari 900 peserta lebih dari seluruh Indonesia ini juga diisi oleh pemateri kedua, yakni Winston Wilson, MD selaku Chief Operating Officer dan Business Development Manager of Gringgo.co.

Opening speech dibuka oleh Novrizal D. Patterson, S.E, M.M sebagai perwakilan dari STIE Kasih Bangsa sekaligus berharap bahwa topik Sampah Jadi Cuan dapat membuka inspirasi bagi Gen Z dan Milenial untuk meningkatkan nilai lingkungan sosial dan bonus demografi. “Ini merupakan suatu kehormatan yang besar buat kami di webinar nasional ke-81 STIE Kasih Bangsa yang hari ini spesial karena mengangkat satu topik khusus yang menjadi masalah atau isu di seluruh dunia. Harapannya, topik istimewa ini dapat membuka inspirasi bagi gen Z dan milenial untuk meningkatkan nilai lingkungan sosial di sekitarnya dan membantu bonus demografi khususnya di Indonesia,” ucap Novrizal saat virtual meeting pada Sabtu (25/2/2023).

Bersama dengan Perumda Pembangunan Sarana Jaya, STIE Kasih Bangsa mengajak anak-anak muda dari seluruh Indonesia untuk mulai sadar pada keuntungan sampah menjadi barang yang dapat bernilai. Karena itu, Yanti Pelanusa menceritakan pengalamannya dalam mendirikan komunitas pemberdayaan perempuan di Jawa Timur. Dalam pemaparannya, Yanti menjelaskan bahwa Komunitas Pelanusa (Pelangi Nusantara) pertama kali hadir karena keresahan di daerahnya. Kala itu, dia melihat tingginya angka pernikahan di Kabupaten Malang yang membuat banyak kaum perempuan sulit mendapatkan pekerjaan yang layak.

“Angka pernikahan di Kabupaten Malang cukup tinggi membuat banyak kaum perempuan sulit mendapatkan pekerjaan yang layak. Bahkan, daerah ini sempat menjadi kantong tenaga kerja wanita (TKW). Mereka pergi ke luar negeri tanpa keterampilan yang layak dan pulang dengan banyaknya masalah,” ucap Yanti. “Kemudian saya bersama teman-teman berusaha mengompori mereka untuk tidak perlu lagi menjadi TKW dan mengajarkan beberapa skill-skill yang bisa mereka serap. Kemudian di sinilah Pelanusa berperan membantu wanita-wanita membuat kerajinan yang kini alhamdulillah telah mendunia,” tambahnya.

Komunitas Pelanusa terus tumbuh dan mendapatkan banyak penghargaan yang dijadikan sebagai bonus usaha mereka selama ini. Meski demikian, social business mandiri yang dilakukan mereka berhasil membuat ruang kreatif masyarakat dan barang-barang yang dihasilkan telah go export ke luar negeri. “Budaya zero waste juga terus kita gaungkan meskipun tidak mudah mengurangi penggunaan plastik dengan memberi solusi menggunakan reusable bag yang fashionable dari karya tangan Pelanusa. Budaya ini terus dilakukan dan berjalan sampai saat ini,” tuturnya.

Kunci utama Komunitas Pelanusa masih bergerak hingga saat ini, menurut Yanti, karena ada green economy. Optimalisasi sumber daya yang sudah tersedia dan sumber daya yang tergarap dengan serius dijadikan landasan bagi mereka untuk terus berkreasi. Ditambah lagi, mereka mengadopsi Triple Bottom Line yang terdiri dari tiga bagian, yakni sosial, lingkungan, dan keuangan. Memiliki moto Berkarya dan Berbagi, Komunitas Pelanusa yang berdiri sejak 2012 sudah menjadi salah satu komunitas terkreatif di Indonesia. Bahkan, komunitas yang dikomandoi oleh Yanti dan teman-temannya telah berhasil mendapatkan pengakuan dari Presiden Joko Widodo sebagai komunitas kreatif masyarakat yang telah menginspirasi banyak orang.

Di lain sisi, Winston Wilson sebagai pemateri kedua dalam webinar nasional ini juga menjelaskan sektor teknologi pemanfaatan sampah menjadi cuan untuk gen Z dan milenial. Menurutnya, menjual barang-barang daur ulang, seperti botol plastik, kardus, dan lainnya akan memiliki nilai value pada lingkungan sosial. “Saya melihat salah satu TPA di Indonesia yang sampahnya sudah menjadi gunung. Melebihi kapasitas. Terus ke mana kita akan membuang sampah? Jadi apa sih yang harus kita lakukan? Pertama, memilah sampah sendiri,” ucap Winston Wilson.

Winston menerangkan bahwa beberapa langkah lainnya adalah dengan menciptakan circular economy. Beberapa sampah yang diambil dan digunakan tidak langsung dibuang melainkan di-recycle (daur ulang). Setelah itu, barang tersebut dapat diubah menjadi berbagai bentuk, baik karya seni yang memiliki art value atau barang yang dapat digunakan kembali. Winston juga menjelaskan bahwa saat ini pihaknya telah bekerja sama dengan Google untuk mewadahi orang-orang agar mulai membiasakan untuk melakukan circular economy. Memanfaatkan aplikasi yang dapat diunduh di App Store, yakni SWAI (Solving Waste with AI), pihaknya terus mendukung lingkungan sosial semakin indah kembali.

Maka dari itu, buat kamu yang hari ini masih membiasakan diri dalam linear economy, yakni membeli, memakai, dan membuang sudah dapat membiasakan diri dengan pola circular economy, yakni membeli, memakai, dan mendaur ulang barang-barang yang kembali dapat dimanfaatkan. Semoga langkah ini bisa membantu lingkungan di Indonesia semakin bersih dan sehat. (OL-14)

SUMBER

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.